Melihat Sunni dan Syiah dari Sudut Pandang Historis

Sunni Syiah

Perbedaan antara Syiah dan Sunni adalah salah satu pembelahan paling awal dan paling berpengaruh dalam sejarah Islam. Pembelahan ini tidak sekadar perbedaan teologis, tetapi juga berkaitan erat dengan aspek politik, sosial, dan budaya yang terus berkembang hingga hari ini. Untuk memahaminya, kita harus menelusuri kembali sejarah Islam sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW.

Awal Mula Perbedaan: Politik atau Teologi?

Perpecahan antara Sunni dan Syiah bermula setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW pada tahun 632 M. Saat itu, umat Islam menghadapi persoalan besar: siapa yang akan menjadi pemimpin (khalifah) menggantikan Nabi?

Kelompok yang kelak dikenal sebagai Sunni berpendapat bahwa kepemimpinan harus diserahkan kepada orang yang paling layak dan disetujui oleh mayoritas umat. Maka dipilihlah Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah pertama. Sementara itu, kelompok Syiah (dari kata Syī'at ʿAlī, artinya pendukung Ali) meyakini bahwa kepemimpinan seharusnya diwariskan kepada Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Nabi.

Awalnya, perbedaan ini bersifat politik, namun seiring waktu berkembang menjadi perbedaan teologis dan ideologis. Syiah mengembangkan konsep imamah (kepemimpinan spiritual dan politik) yang dianggap suci dan hanya bisa dipegang oleh keturunan Nabi melalui Ali dan Fatimah. Sementara Sunni mempertahankan sistem kekhalifahan yang lebih fleksibel dan terbuka.

Perkembangan dan Pelencengan Fungsi

Dari masa ke masa, baik Syiah maupun Sunni mengalami berbagai dinamika internal yang membuat ajaran dan praktik keduanya tidak selalu murni seperti pada awalnya. Dalam sejarah, beberapa penguasa atau dinasti menggunakan identitas Syiah atau Sunni sebagai alat kekuasaan. Misalnya:

- Dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang Sunni sering menjadikan legitimasi keagamaan untuk menjustifikasi kekuasaan absolut.

- Dinasti Fatimiyah dan Safawi yang Syiah menjadikan imamah sebagai instrumen kontrol ideologis terhadap rakyat.

Akibatnya, nilai-nilai utama Islam seperti keadilan, persaudaraan, dan musyawarah sering kali tergeser oleh kepentingan politik dan kekuasaan. Konflik-konflik sektarian yang terjadi di berbagai era dan wilayah, seperti di Timur Tengah, sering bukan murni karena perbedaan akidah, melainkan karena perebutan pengaruh dan kekuasaan yang dibalut identitas mazhab.

Kompleksitas dan Harapan

Di zaman modern, hubungan antara Syiah dan Sunni masih sering diwarnai kecurigaan dan konflik, terutama di kawasan seperti Irak, Suriah, Yaman, dan Lebanon. Namun, perlu dicatat bahwa banyak ulama dan komunitas Muslim di berbagai negara justru mendorong dialog dan rekonsiliasi.

Contoh positifnya adalah berbagai forum ulama dan pendekatan lintas mazhab yang mulai tumbuh. Bahkan di negara seperti Indonesia, konflik Syiah-Sunni tidak terlalu menonjol dibandingkan kawasan lain. Masyarakat lebih mengedepankan toleransi meskipun masih ada tantangan dalam soal pemahaman dan penerimaan.

NU dan Muhammadiyah: Cerminan Dinamika Internal Sunni dan Syiah

Di Indonesia, organisasi seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sering dianggap sebagai representasi utama Sunni. Meskipun keduanya berada dalam kerangka Sunni, mereka menunjukkan keragaman pendekatan dalam beragama dan bermasyarakat:

Muhammadiyah lebih rasional dan puritan, cenderung menolak praktik-praktik keagamaan yang dianggap tidak berdasar Al-Qur’an dan Sunnah.

NU lebih akomodatif terhadap tradisi lokal dan menekankan pentingnya sanad keilmuan serta tasawuf dalam beragama.

Menariknya, dinamika antara NU dan Muhammadiyah menyerupai apa yang pernah terjadi antara Syiah dan Sunni secara historis, bukan dalam konflik atau permusuhan, melainkan dalam perbedaan sudut pandang mengenai otoritas, tradisi, dan metode ijtihad. Keduanya juga menunjukkan bahwa perbedaan tidak selalu berujung pada perpecahan, melainkan bisa menjadi kekayaan dalam keberagaman Islam.

Kembali ke Akar, Menatap Masa Depan

Melihat kembali sejarah Syiah dan Sunni mengajarkan kita bahwa perbedaan dalam Islam bukanlah hal baru, namun cara kita menyikapinya yang akan menentukan masa depan umat. Bila umat Islam mampu mengembalikan esensi ajaran keadilan, kasih sayang, ilmu, dan adab, maka perbedaan bisa menjadi kekuatan, bukan sumber perpecahan.

Di tengah dunia yang kian terpolarisasi, sudah saatnya kita berhenti menilai satu sama lain dengan kacamata curiga, dan mulai membangun pemahaman, dialog, dan kerja sama lintas mazhab maupun organisasi demi umat yang lebih bersatu dan berdaya.

Lucky Ardhika

Lebih dekat dengan saya di https://luckyardhika.github.io/

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Baik dan Sopan

Lebih baru Lebih lama